![]() |
Bus Al Hijrah |
PADANG-Zaman akan berubah. Setiap orang punya masa, dan tiap masa ada orangnya. Dulu, warga Sumbar mudik dengan bus kaca geser atau bus non AC, kini malah jadi sultan dengan bus sleeper.
Pada era 1990-an, hampir semua bus mengoperasikan armada non AC di lintasan Padang-Jakarta. Kombinasi seatnya 2-3. Dalam satu perjalanan bisa 50 lebih penumpang sekali jalan. Bus itu identik dengan kaca geser alias mobil yang jendelanya bisa dibuka, sehingga angin bisa masuk dengan leluasa.
Selain seat 2-3, di lorong kabin bus ada pula bangku tempel. Pokoknya, penumpang rame. Kalau musim mudik lebaran, jangan disebut lagi. Penumpang banyak dan bus sesak.
Bus dengan kaca geser telah tergeser dengan perkembangan zaman. Sekarang bus Padang-Jakarta semua menggunakan AC. Banyak pula kelas yang ditawarkan ke penumpang.
Bus yang mengoperasikan bus layanan non AC pada era 1990-an adalah Gumarang Jaya, Lubuk Basung Jaya, NPM, ANS dan Transport. Bus ekonomi ini bagi masyarakat yang memiliki kemampuan terbatas untuk naik bus ber-AC. Di dalam bus ekonomi, penumpang boleh merokok sepuasnya. Bus gundakan jendela kaca geser, sehingga perjalanan full asap rokok.
Pada era 1990-an, tiket bus Padang-Jakarta cuma Rp13 ribu. Sementara bus AC tiketnya Rp33 ribu. Bus AC kombinasi seat 2-2 dan tak ada penumpang yang duduk di Lorong. Bus AC dilengkapi dengan area merokok dan toilet. Kalau tak punya ruang merokok, jangan harap akan jadi pilihan penumpang.
Kini, zaman berganti. Tak ada lagi bus ekonomi di lintasan Sumbar-Jakarta. Yang terjadi, selera penumpang bus Sumbar makin meningkat. Bus dengan layanan sleeper class makin diminati. Penumpang tak lagi berpikir soal ongkos, tapi soal kenyamanan.
Ada tiga perusahaan otobus yang memberikan layanan kelas rebahan di jalur Sumbar-Jakarta. Masing-masing Miyor, Al Hijrah dan Sembodo.
Okupansi kelas rebahan tetap tinggi walau sedang tak musim arus mudik arau balik. Artinya, masyarakat mencari suasana berbeda dalam perjalanan jauh.
Walau penumpang sleeper class meningkat, namun bus dengan kelas eksekutif tetap mendapat tempat di hati masyarakat.
Masyarakat tak lagi berpikir mendang-mending. Warga sudah menepikan pemikiran, "Kalau bayar segitu, mending naik pesawat."
Penumpang juga tak lagi berpikir, "Mending naik bus yang biasa saja, kan uangnya bisa ditabung."
Masyarakat kini mencari kenyamanan dan menikmati perjalanan dengan armada yang nyaman. Soal ongkos itu mah urusan belakangan. Uang mah bisa dicari. (*)