Konsumsilah Garam Beryodium Ber-SNI

Asben Hendri



Liputankini.com-Garam merupakan kebutuhan pokok bagi tiap rumah tangga. Bila mengonsumsi sambal atau makanan tanpa garam, rasanya akan hambar. Hilang salero makan. Meski demikian, masyarakat jangan asal membeli garam beryodium, tetap harus memperhatikan produk yang  telah memenuhi standar nasional Indonesia (SNI).


Garam diproduksi banyak daerah di  Indonesia  Hingga kini, masih ada industri garam di dalam negeri yang belum memenuhi SNI karena kendala peralatan produksi yang belum sesuai dengan standar yang berlaku dan sebagian besar usaha skala kecil dan mikro.


Sejak 1994, pemerintah telah memberlakukan SNI wajib untuk garam konsumsi beryodium (GKY). Pemberlakuan ini memperhatikan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan hidup (K3LH). SNI wajib GKY ini harus dipenuhi oleh produsen yang dibuktikan dengan sertifkat produk penggunaan tanda SNI (SPPT SNI).


Garam beryodium beredar di pasaran dan belum ber-SNI, lantaran peralatan produsen yang masih sederhana serta membuat tidak sesuai dengan standar yang berlaku sehingga tidak memiliki SNI. Ada pula garam yang berasal dari perusahaan besar, namun tidak memperpanjang masa berlaku SNI tersebut.


“Jadi, masyarakat harus berhati-hati dengan garam yang beredar di pasaran,” kata Kepala Dinas Perdagangan Sumbar, Asben Hendri, kemarin.


Garam beryodium harus sesuai dengan SNI Wajib 01-3556-2000.  SNI itu menjamin produsen untuk memproduksi dengan benar. Garam yang berkualitas juga turut menentukan tingkat kesehatan penggunanya.


Pada 2009, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (Aprogakob) Tanu Wikodhiono mengakui kalau sebagian besar produsen garam berskala kecil dan menengah masih banyak yang belum memperpanjang standarnya (SNI).


Tanu menuturkan, jumlah produsen garam beryodium di Indonesia mencapai 600 produsen, tetapi hanya 400 produsen yang tercatat secara resmi perizinannya. Berdasarkan peraturan standardisasi, setiap pelaku usaha harus memperpanjang SNI-nya setiap tiga tahun sekali.


Menurut Tanu, biaya untuk memperpanjang SNI sekitar Rp3 juta ditambah dengan biaya lain, seperti pengujian di laboratorium melalui lembaga LSPro.


Kendala lainnya, produsen harus ke Jakarta untuk memperpanjang sertifikat itu sehingga membutuhkan biaya transportasi. Padahal, produsen garam beryodium itu berada di berbagai wilayah Indonesia.


Asben mengingatkan masyarakat yang membeli garam di warung untuk jeli dengan produk yang berkualitas. Pihaknya juga rutin melakukan inspeksi mendadak ke pasar tradisional yang ada di Sumbar dan mengingatkan pedagang untuk menjual garam ber-SNI kepada masyarakat.


 


Kebutuhan garam di Sumbar lebih kurang 30.000 ton per tahun. Padang merupakan daerah yang paling tinggi konsumsi garam, lebh kurang 5.000 ton setahun. Sebagian besar garam di Sumbar untuk konsumsi rumah tangga, selebihnya untuk industri. Kebutuhan garam di Sumbar dipasok sejumlah perusahaan.


Pemerintah provinsi juga melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala terhadap produsen garam yang mendistribusikan garamnya di Sumbar.


Bila pemprov melalui Dinas Perdagangan menemukan kejanggalan dan tidak memenuhi SNI, maka pelaku usaha tersebut diberikan aturan tertulis. Jika tidak diindahkan maka produknya disita.


Asben Hendri mengemukakan, garam yang beredar di Sumbar seluruhnya mengandung yodium, kecuali bagi garam industri seperti untuk pengolahan ikan asin sudah disesuaikan peruntukannya.


Guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi garam beryodium ber-SNI, lembaga yang ia pimpin rutin melakukan sosialisasi perlindungan konsumen melalui gerakan konsumen cerdas dan penyuluhan langsung kepada masyarakat.


Garam yang dikonsumsi dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari manusia  harus memenuhi standar higinitas dan sanitasi. Bahkan, garam konsumsi beryodium harus mengandung yodium sebesar 30-80 ppm (part per million atau bagian per sejuta) agar terhindar dari GAKY (gangguan akibat kekurangan yodium) seperti IQ rendah, gondok, cebol atau kerdil.


oktober 2019

Terigu Harus Ber-SNI

Liputankini.com-Aturan tentang terigu ber-SNI sempat maju mundur. Mulanya diberlakukan mulai Januari 2008, kemudian dicabut. Namun, terhitung Agustus 2008 aturan itu kembali dilaksanakan. Pencabutan dikarenakan penolakan sejumlah pihak.


Pemberlakukan SNI dilaksakan Departemen Perindustrian. Lembaga itu secara resmi memberlakukan kembali ketentuan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk komoditas tepung terigu mulai Agustus 2008. Pemberlakuan wajib SNI untuk Tepung Terigu ini diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor  49/M-IND/PER/7/2008 yang diterbitkan pada 14 Juli 2008.


Pemberlakuan kembali SNI wajib tepung terigu ini, menurut Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Benny Wachjudi, diperlukan sebagai salah satu semangat pemerintah membangun makanan yang bergizi di Indonesia.


Selain itu, sejak dicabutnya ketentuan wajib SNI Tepung Terigu pada 22 Januari 2008, pemerintah menilai nilai impor tidak terlalu signifikan, bahkan turun dibanding periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan data Depperin, untuk periode Maret hingga Juni 2008, impor tepung terigu tercatat 149.296 ton. Jauh lebih rendah dibandingkan periode sama pada 2007, sebanyak 230.789 ton. Sedang ekspor Desember 2007 sampai Februari 2008 sebesar 116.231 ton.


Penurunan ini, jelas Benny, diperkirakan karena aksi sejumlah negara penghasil terigu membatasi ekspornya ke luar. Keadaan didukung dengan harga pangan dunia sedang melonjak. Seperti di negara Pakistan, karena gagal panen, justru mengimpor terigu. Kemudian negara Cina, yang memberlakukan pajak ekspor tinggi untuk gandum, agar mengurangi ekspor.


Dengan diterapkannya SNI wajib ini, masyarakat tidak perlu khawatir dengan isu beredarnya terigu non standar di pasar domestik. Produk tepung terigu di pasar yang tidak berlabel SNI, kata dia, dianggap produk illegal.


Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Ratna Sari Loppies, menyambut dengan baik keputusan pemerintah memberlakukan kembali SNI tepung Terigu secara wajib.


Setiap terigu yang ber-SNI wajib mengandung zat besi (Fe), Vitamin B1 dan Vitamin B2 dan Seng (Zn) karena terkait dengan perbaikan giji masyarakat


Pengusaha terigu di Indonesia mendukung penuh pemberlakukan SNI atas produk terigu. Bahkan, ketika aturan itu dicabut, pengusaha protes kepada pemerintah. Produsen terigu merasa keberatan terhadap keputusan pemerintah yang mencabut SNI terhadap produk terigu. Pencabutan SNI wajib terigu berlaku sejak 24 Januari 2008.


 

Pencabutan SNI wajib terigu dinilai tidak berdampak kepada penurunan harga terigu impor maupun harga dalam negeri. Ratna Sari Loppies mengatakan, tidak ada manfaatnya dari keputusan pemerintah mencabut SNI. “Pencabutan hanya berpotensi menurunkan harga Rp 15 per kilogram, sebagai biaya fortifikasi terigu yang di pakai bila terigu diterapkan wajib," katanya yang dikutip detikcom.


Dia menilai, dengan pencabutan SNI wajib terigu memicu berkembangnya produk terigu yang tidak bermutu.


Kepala Dinas Perdagangan Sumatera Barat, Asben Hendri mengemukakan, lembaganya rutin inspeksi ke pasar guna memastikan terigu yang beredar memang sudah memiliki logo SNI. Sebagai provinsi yang terkenal dengan produk kuliner, tingkat konsumsi terigu di Sumbar terbilang tinggi.


Konsumsi terigu di Sumatra Barat mencapai 4.500 metrik ton terigu per bulan, 50 persennya dikonsumsi masyarakat Padang. Pertumbuhan konsumsi terigu di Sumatera Barat rata-rata mencapai enam persen setiap tahunnya.


Secara nasional, 99,96 persen konsumsi tersebut ditunjang produksi tepung terigu dalam negeri. Sementara itu, 0,04% ditopang pasokan terigu yang berasal dari Argentina, Kanada, Ukraina, Australia dan negara lainnya.


Jelang akhir tahun, angka pertumbuhan konsumsi terigu diproyeksikan mengalami pertumbuhan lantaran adanya momentum Natal dan Tahun Baru.


Pertumbuhan konsumsi tepung terigu nasional sempat mencapai angka 7,72 persen di 2016. Namun demikian, angka tersebut selanjutnya terus mengalami penurunan menjadi 6,41 persen di 2017 dan 3,79 persen di 2018.


Asben Hendri mengemukakan, urgensinya terigu ber-SNI agar masyarakat mendapatkan gizi dari makanan atau jajanan.




Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama