Awas, Jerat Asusila Bermodus Pacaran


MJ News - Bermula dari pacaran. Kemudian, rasa cinta diujikan. Kehormatan pun diberikan. Sayang, si gadis masih di bawah umur. Kasus asusila bermodus pacaran ini pun berakhir di kantor polisi.

Kejahatan asusila terhadap anak di Sumbar seperti tak ada habis-habisnya. Tiap hari, ada saja gadis belia yang jadi korban. Parahnya lagi, kejahatan itu dilakukan oleh orang terdekat, terutama yang mengaku sebagai pacar.

Pacaran menjadi modus bagi para panjahat susila untuk mencari korban gadis di bawah umur. Generasi bangsa ini sedang terancam masa depannya.

Saat ini, pacaran menjadi pola laku yang lazim di kalangan remaja. Padahal, inilah jerat awal terjadinya kejahatan susila.

Lela, seorang ibu rumah tangga mengaku sangat ketat mengawasi pola pacaran anak-anaknya. Ia memberikan persyaratan ketat, untuk menjaga anak-anak untuk menjaga auratnya,” kata Weni, orang tua lainnya.

Weni mengaku tidak mengizinkan anaknya pacaran. Bahkan ia mewanti-wanti, jika sudah berani pacaran, berarti siap nikah.

“Kalau tak siap nikah, jangan pernah pacaran,” jawabnya.

Alhamdulillah semua anaknya patuh. Tak ada yang berani pacaran terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Kalau sembunyi pun
pasti dia tahu.

Sementara Lia, seorang siswi SMA mengaku sangat menghindari pacaran. Baginya pacaran tidak ada manfaatnya, hanya buang-buang waktu saja.

“Saya kasihan dengan teman-teman yang pacaran, kehidupannya seperti orang yang sudah menikah. Mereka marah-marahan, berbuat dosa, dan lainnya,” katanya.

Sebagian temannya, ada yang dari marabahaya. “Pokoknya tidak ada izin keluar malam. Jika mau berkunjung ke rumah, hanya boleh sampai pukul 21.00 WIB,” katanya.

Ia mengaku melakukan tindakan ini, untuk kebaikan putrinya. Apalagi pergaulan bebas saat ini, bisa menjerumuskan anak pada perilaku negatif.

“Saya pesan pada anak saya, agar jangan mengumpan kucing dengan ikan. Artinya, jangan pancing laki-laki untuk melakukan maksiat,” tambahnya.

Terkait dengan banyaknya kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh pacarnya sendiri, menurutnya karena terlalu bebas pacaran. Orang tua pengawasannya lemah, sehingga terbuka kesempatan.

“Makanya saya minta sekali pada anak-anak perempuan saya dapat pacaran melalui media sosial. Sebagian lagi pacaran satu sekolah. Keduanya ia lihat sama merepotkan dan menyita waktu serta tenaga.

“Saya hanya iseng aja pacaran,” kata Siska, siswi SMA lainnya.

Ia mengaku malu menceritakan apa saja yang telah dilakukan semasa pacaran. Penyesalan menurutnya tak berguna, jika satu saat nanti dibuat kembali.

Hanya kini ia mengaku sudah putus dan bertekad untuk konsentrasi belajar. Akibat pacaran, nilainya menjadi jeblok dan ia dimarahi di rumah.

Sementara Ustadz Episantoso mengatakan, tak ada istilah pacaran dalam Islam. Tak ada satupun dalil yang bisa melegalkan pacaran.

“Pacaran adalah budaya jahiliyah yang ditiru umat Islam yang miskin pengetahuan,” katanya.

Islam sangat melarang campur aduk antara laki-laki dan perempuan, haram hukumnya. Maka dari itu, setiap remaja Islam harus diingatkan tentang hal ini.

“Pacaran sangat dekat dengan maksiat dan menjadi pintu masuk perbuatan zina,” ujarnya.

Banyaknya kejahatan seksual saat ini, merupakan efek buruk pacaran. Ibarat bertepuk, ia tak bisa sebelah tangan. Maka dari itu, iman remaja Islam harus kuat, agar tak tergoda pacaran. Pelajari agama baik-baik dan amalkan, agar mendapat petunjuk yang benar dalam hidup.

Pengawasan orangtua 

Peranan sekolah dalam mengatasi siswa pacaran memang tak banyak. Sebab, persoalan itu orangtua yang lebih berperan karena siswa itu pacaran kerapkali dilakukan di luar jam sekolah atau pulang sekolah.

Sekolah memberikan pemahaman kepada siswa tentang nilai atau norma yang harus ditaatinya dalam pergaulan. Di samping itu, berpacaran masih bisa dimaklumi tetapi dalam batas-batas yang wajar dan tak melanggar aturan agama dan kesusilaan.

Dalam ini, PIK Remaja di sekolah lebih diperankan untuk mengatasi persoalan remaja yang timbul. PIK Remaja bersama guru Bimbingan Konseling memberikan peranan dalam mengatasi persoalan itu.

Sekolah lebih pada memberikan pemahaman tentang dampak berpacaran yang melanggar aturan. Selanjutnya, pengawasan intensif dilakukan oleh orangtua.

Di samping itu, pihak sekolah juga berkoordinasi dengan orangtua bila melihat ada sesuatu persoalan terhadap siswanya yang berkaitan dengan persoalan asmara.

Pihak sekolah juga memberikan pemahaman lebih dalam lagi akibat dari pergaulan bebas yang dimulai dari pacaran tersebut. (*/eds)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama