Gurita si Raja Lokal

Sebuah swalayan dan warung kelontong berdiri saling berdekatan. Keduanya apakah saling membesarkan atau malah saling bunuh. Sesuatu yang mesti segera diatur dengan regulasi yang jelas.

PADANG, MJ News - Di Bandar Buat Kota Padang, sebuah swalayan megah berdiri di pinggir jalan. Tak beberapa lama, sebuah minimarket datang menggoda di seberang jalan. Minimarket itu berkembang pesat. Berbeda dengan nasib swalayan yang lebih dahulu berdiri. Swalayan tumbang.

Begitu ketatnya persaingan usaha ritel di Sumbar. Di daerah ini memang ada moratorium bagi usaha ritel nasional. Tak ada swalayan atau minimarket sekelas Alfamart, Indomaret dan sejenisnya. Usaha ritel di daerah ini lebih banyak dikuasai oleh pemain lokal. Tapi, persaingan para pemian lokal ini tak kalah sengit. Berdarah-darah bahkan.

Minimarket dan swalayan kini berhadap-hadapan. Pengusaha ritel lokal menjadi raja-raja baru. Mereka membangun bisnis menggurita.

Kini, swalayan dan minimarket hadir di segala penjuru. Tak di kota, disudut kampungpun berdiri. Masyarakat memiliki banyak pilihan untuk berbelanja. Namun, para pemilik warung kelontong gigit jari. Mereka pelahan-lahan menjelang mati.

Pemilik warung kelontong di kawasan Belimbing tidak nyiut nyalinya, ketika banyak swalayan berdiri di kawasan itu. Sebut saja Bigmart, Citra Swalayan, Golden Mart, dan lainnya.

“Rezeki kita untuk kita, rezeki mereka untuk mereka,” kata Rusli, salah seorang pemilik usaha grosiran.

Selama ini ia mengaku tidak mengalami masalah, meski grosirannya berhadap-hadapan. Konsumennya yang berasal dari warung-warung kecil, tetap setia belanja padanya.

“Selama pelayanan dan harga kompetitif, buat apa takut,” ujarnya.

Lain lagi cerita Dodi, pemilik warung kelontong. Untuk soal penjualan sehari-hari ia mengaku ada penurunan. Soalnya masyarakat lebih suka belanja ke swalayan.

“Kalau ecerannya seperti sampo sachet, itu langganannya tetap ada,” ujarnya.

Ia pun kini beralih menjual segala sesuatu yang tidak bisa dilayani swalayan. Ia berharap dengan cara itu, dapurnya tetap mengepulkan asap.

Sementara persaingan antar pemilik swalayan juga lumayan ketat. Tak hanya bersaing dari segi tarif, tapi juga pelayanan.

“Kami lebih banyak menggelar diskon setiap harinya,” kata Arya, seorang karyawan swalayan.

Ia yakin, kalau harga yang ditawarkan menarik, tentu warga akan belanja pada mereka. Sebaliknya, jika perbedaan harga terlalu besar, maka masyarakat akan lari.

“Bersaing sehat saja, dan biarkan masyarakat yang memilih,” kata Ita, karyawan lainnya.

Para karyawan hanya berharap tidak ada perselisihan antar pemilik swalayan. Besar harapan mereka agar swalayan tempat mereka bekerja tetap hidup, agar mereka tetap bisa bekerja.

Hedonisme Menjerumuskan Anak

Gurita ritel lokal di Sumatera Barat di satu sisi memberikan angin segar bagi perekonomian Sumatera Barat. Tapi, kalau tak dikelola dengan baik, ia bisa menjadi bencana yang membunuh warung kelontong dan pasar-pasar tradisional. Padahal, denyut nadi perekomian masyarakat Sumbar banyak berasal dari pasar tradisional dan warung-warung kelontong ini.

Hal itu diungkapkan pengamat Ekonomi Syariah IAIN Imam Bonjol Padang, Huryatul Akmal. Menurut Huryatul, ritel pada dasarnya memberikan atmosfer bisnis yang baik bagi ekonomi daerah. Namun, butuh regulasi yang bagus agar tidak mematikan pasar tradisional dan toko-toko kelontong kecil. Pada dasarnya ritel bisa dikolaborasikan dengan potensi ekonomi lokal. Dengan cara menggnakan skema koperasi.

“Kalau masyarakat mau dan punya kesamaan visi, membangun ekonomi lokal, harusnya ritel-ritel modern bisa dikembangkan dalam skema bisnis koperasi,” kata Huryatul.

Caranya, kata dia, masyarakat bersama-sama memodali ritel, belanja di sana dan keuntungan kembali ke mereka. Tapi sayang sekali modal sosial untuk membentuk koperasi itu langka saat ini.

Koperasi merupakan kumpulkan orang, basisnya modal sosial kesamaan visi masyarakat dalam memandang kebutuhan ekonomi mereka. Sedangkan pemerintah hanya regulator.

“Kalau koperasi dibuatkan pemerintah tapi masyarakat tidak merasa membutuhkan, maka yang terjadi koperasi hanya jadi sapi perah. Tempat mencari sumbangan saja, hidup pas ada duit. Saat duit habis koperasi mati suri,” jelas Huryatul.

Koperasi tidak akan tumbuh di tengah masyarakat yang individualis. Apalagi sekarang ini masyarakat maunya mengurus sendiri-sendiri. Mau yang instan, pengen kaya sendiri yang lain biarkan saja hidup miskin.

Ini bisa dilihat dari kondisi sebagian UMKM yang ada di daerah. Tak tumbuh seperti diharapkan. Namun bagi yang punya modal kuat bisa sejahtera.

Saat ini yang diperlukan UKM dalam mengembangkan diri, menggunakan pola kolektif antar sesama. UKM perlu tempat memasarkan produk. Ritel adalah salah satu solusinya.

“Maka kalau pelaku UMKM bisa memasarkan produk bersama, ada niat maju bersama. Pasti bisa,” pungkasnya. (*/Yuke)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama