Memperkaya Hati dengan Mutiara Hikmah


Judul buku : Al-Hikam Imam Syafi’i: Mutiara Hikmah dan Syair Indah Imam Ahlussunnah
Penyusun : Muhammad Al-Faiz dan Juman Rofarif
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2016
Tebal : 228 halaman
ISBN : 978-602-1687-87-1

Di antara banyaknya ulama fikih dunia, Imam Syafii lebih dikenal umat muslim di Indonesia. Bukan berarti memilih-milih ulama, tetapi mazhab fikih yang didirikannya merupakan mazhab paling banyak dianut muslim Indonesia. Sejak kecil, ia sudah mulai mengembara, menemui banyak guru untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Hingga akhirnya, berkat kecerdasan dan kegigihannya, namanya dikenal sebagai Imam Mazhab.

Namun, Imam Syafii yang dikenal sebagai Imam Mazhab, ternyata juga seorang seorang penyair. Bahkan, sebelum ia mendalami ilmu fikih, ia sudah lebih dulu mempelajari syair. Ia kerap menulis syair-syair indah dan ungkapan-ungkapan penuh hikmah. Dalam bersyair, Imam Syafii memiliki tema yang beragam, mulai dari tema spiritualitas, ilmu, persahabatan, percintaan, nasihat kehidupan, dan sebagainya dengan makna-makna yang mengguggah.

Alhasil, ada sembilan kitab berisikan syair karya Imam Syafii. Kesembilan kitab syair tersebut dihimpun dengan 27 kitab karya ulama-ulama terkemuka—seperti al-Ghazali, Imam Nawawi, Ibn al-Jauzi,dan Ibn Hajar al-Asqalani. Hingga menjadi sebuah buku yang berjudul Al-Hikam yang banyak memuat mutiara hikmah.

Buku setebal 228 halaman ini diawali dengan hikmah Imam Syafii mengenai pesan agar kita berhati-hati dalam berbicara karena luka yang diakibatkan oleh mulut atau kata-kata tak bisa disembuhkan (hlm. 17, 57,61).

Ada juga pesan agar jangan suka menyebarkan informasi dari sumber yang tidak diketahui kredibilitasnya. Bagi Imam Syafi’i, sikap seperti itu bisa disebut “dusta yang samar” (hlm. 218).

Hal ini sesuai dengan konteks era informasi yang salah satunya ditandai dengan merebaknya media sosial sekarang ini. Betapa tidak, media sosial seringkali dijadikan sebagai media untuk menghujat menggunakan topeng kritikan dan menyebarkan hal-hal yang tidak benar. Memberi nasihat itu sebaiknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena jika dilakukan secara terbuka hal
itu sama dengan menghinakan dan mencemarkan nama baiknya (hlm.128).

Padahal, media sosial diciptakan agar manusia bisa berinteraksi dengan mudah dan memperluas hubungan pertemanan.

Lebih lanjut, Imam syafii mengingatkan bahwa meski kita tidak dapat menarik manfaat dari persahabatan dengan orang lain, kita mestinya tidak mengambil untung dengan memusuhi orang lain (hlm. 25).

Imam Syafi’i juga mengingatkan bahayanya sifat dengki. Menurutnya, sifat dengki akan menutup kemungkinan terbukanya pintu persahabatan (hlm. 27).

Tidak hanya itu, dalam buku ini, Imam Syafi’i mengungkapkan kemuliaan ilmu dan pentingnya belajar. Imam Syafi’i berujar bahwa orang yang tidak mau mencicipi pahit nya mencari ilmu meski sesaat akan menenggak hinanya kebohohan sepanjang hayat (hlm. 39).

Tidak sekadar belajar, beliau juga menegaskan bahwa menjadi pandai atau belajar saja tidaklah cukup. Ilmu itu harus dapat melembutkan perilaku orang yang memilikinya, memperbaiki akhlaknya, dan memberi hidayah pada hatinya.

Jika orang yang terpelajar ternyata tidak menunjukkan perilaku dan perangai yang baik, bagi Imam Syafi’i itu adalah sebentuk petaka (hlm. 88).

Sayangnya, syair dan hikmah yang terhimpun dalam buku ini tidak disusun secara berurutan berdasarkan tema-tema tersebut sehingga syair atau hikmah yang mengangkat satu tema dapat tersebar di halaman-halaman yang terpisah.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, karya ini layak dibaca dan sangat tepat untuk menjadi referensi penenang jiwa. Terlebih lagi, buku yang memiliki sampul dengan desain klasik ini memuat ajakan agar kita dapat selamat dalam menjalani kehidupan.

Bumi menjadi hidup oleh hujan.Jiwa menjadi hidup oleh tekad. Hati menjadi hidup oleh hikmah.

Selamat Membaca! (*)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama