Sawahlunto, Kota yang Penuh Cerita dan Pesona


Sawahlunto begitulah nama kota ini. Kota yang didirikan pada tahun 1888 ini sangat mempesona.

Sawahlunto merupakan kota yang penuh cerita, karena di kota ini pernah mencapai kejayaannya sebagai produsen batubara ketika masa kolonial. Oleh karena itu, banyak cerita yang terukir di kota ini, banyak sejarah yang dibuat sehingga membuat banyak orang mengenal Sawahlunto, bukan hanya orang Indonesia tetapi sampai ke mancanegara.

Kota ini memang menjadi primadona, karena kota ini merupakan sebuah peradaban yang nyata. Sebagai saksi sejarah kekayaan alam Indonesia. Sekarang banyak gedung-gedung yang sudah menjadi cagar budaya tentu saja sebagai tempat tujuan wisata untuk bisa menyaksikan napak tilas peradaban Sawahlunto.

Tiga benda berbentu tabung raksasa yang masih berdiri kokoh di tengah kota namanya adalah Silo. Silo akan berbunyi tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB dan 16.00 WIB yang menandakan sebagai jam kerja orang rantai atau narapidana yang dijadikan kuli penambang batu bara. Silo, berupa tabung-tabung raksasa itu berfungsi sebagai penimbun batu bara yang sudah dibersihkan dan siap diangkut dengan kereta api.

Selanjutnya Museum Goedang Ransoem, museum ini meninggalkan bukti sejarah yang tidak kalah dahsyatnya. Di museum ini masih tersimpan benda-benda untuk memasak dalam ukuran besar yang bisa memasak untuk 6.000 orang setiap harinya. Di museum ini juga ada tungku pembakaran, kuali berukuran raksasa, periuk uap buatan Jerman, dan pengatur panas. Setiap hari pada masa kolonial Belanda aktivitas di sini selalu ramai, banyak juga anak-anak Indonesia yang membantu bekerja hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.

Di museum ini banyak foto-foto yang memilukan. Dan, sebelum melihat lebih jauh ke dalam museum, pengunjung akan disuguhkan dengan video tentang kota Sawahlunto dan Goedang Ransoemnya.

Selanjutnya ada lubang Mbah Suro yang merupakan bekas pertambangan yang masih bisa dilihat di Kota Sawahlunto. Objek wisata ini diambil dari nama seorang mandor pekerja paksa yaitu Mbah Suro.

Perjalanan berlanjut menyusuri berbagai saksi sejarah lain seperti stasiun kereta api yang masih dilihat peninggalannya sekarang.

Salah satu kereta api dinamakan Mak Itam yang pernah dipakai untuk membawa peserta Tour de Singkarak beberapa tahun silam.

Perjalanan menyusuri Kota Sawahlunto terasa sangat berbeda dengan kota-kota lain di Sumatera Barat. Dari arsitektur dan tata kotanya terasa sekali ada pengaruh dari asing. Di jalanan kota terdapat banyak jalanan sebagai peninggalan zaman Belanda.

Perjalanan memang menyenangkan menyusuri kota yang tidak terlalu besar tetapi menyimpan cerita yang panjang untuk sebuah perjalanan saksi sejarah di tanah Minangkabau. Perjalanan-perjalanan yang menakjubkan dan menyenangkan ini dilengkapi dengan suhu udara yang sejuk sehingga mengelilingi kota terasa sangat menyenangkan.

Untuk mendapatkan sensasi yang berbeda, pengunjung dapat melihat Kota Sawahlunto dari atas, yaitu dari Puncak Cemara. Dari sini terlihat jelas penampakan Kota Sawahlunto yang dikelilingi oleh bukit barisan. Dari kejauhan juga terlihat tulisan besar Kota ‘Emas Hitam’ di bukit yang memanjang di salah satu sisi kota “SAWAHLUNTO” dengan huruf kapital yang besar.

Dari Puncak Cemara serasa terbang, karena semua pemdangan kota terlihat jelas dan memanjakan mata. Jika ke Puncak Cemara, jangan lupa membawa makanan, karena monyet-monyet akan menunggu dan siap bercengkerama dengan pengunjung. Pengunjung bisa memberi maka monyet sambil berfoto menyaksikan keajaiban Allah, Sawahlunto.

Di kota ini menyimpan kenangan dan cerita. Ingin rasanya kembali lagi ke kota ini untuk tenggelam lagi ke dalam sejarah masa lalu. Tentu saja untuk menjadikan sebagai pelajaran yang terbaik.

Perjalanan di Kota Sawahlunto dari Kota Padang tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu tempuh sekitar dua sampai tiga jam karena jarak yang cukup dekat hanya sejauh 96 kilometer.

Bagi yang akan berkunjung ke Kota Sawahlunto, jangan lupa mengunjungi semua objek wisata yang ada. Karena sensasinya akan terasa dan benar-benar bisa menjadi pelajaran tentang masa lalu.

Kota ‘Emas Hitam’

Berbicara tentang Kota Sawahlunto tentu tidak akan terlepas dari ‘emas hitam’nya yang membuat kota ini mendadak dipenuhi penduduk pada masa kolonial Belanda. Penelitian pertama yang dilakukan Ir. C. De Groot van Embden pada 1858, kemudian dilanjutkan seorang penerusnya Ir. Willem Hendrik de Greve pada 1867. Dari penelitian itu, kedua peneliti memperkirakan terdapat paling tidak ada 200 juta ton batu bara yang terkandung dalam aliran Sungai Batang Ombilin.

Penelitian itulah yang disampaikan ke Batavia (waktu itu sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia) pada 1870. Tidak mengunggu waktu lama respon itu kian cepat, karena pemerintah Belanda sangat membutuhkan batu bara untuk menghidupkan beragam mesin termasuk mesin perang yang memperkuat kedudukannya atas penjajahannya. Oleh karena itu, pada 1 Desember 1888 Sawahlunto resmi menjadi kota.

Batu bara mulai diproduksi pada tahun 1892, sejak saat itu kota Sawahlunto didominasi oleh pekerja tambang dan pegawai tambang batu bara. Pada tahun 1898, pemerintah Hindia Belanda mulai mendatangkan narapidana untuk kerja paksa di pertambangan batu bara.

Kaki para penambang diikat dengan rantai, bekerja siang dan malam mengeruk kekayaan ‘emas hitam’ yang terkandung di perut Sawahlunto. Jaringan kereta api mulai dibangun pada tahun 1894, sejak saat itulah produksi batubara meningkat tajam hingga mencapai ratusan ribu ton pertahun. (*/Rofiq L Hayat)










Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama