Karantina Wilayah Berisiko Corona Gelombang Kedua, Pemerintah: Sudah Dihitung

Achmad Yurianto
Achmad Yurianto.

mjnews.id - Sejumlah pakar meneliti bila karantina wilayah diterapkan justru akan berisiko terjadi gelombang kedua virus Corona. Pemerintah mengaku telah memperhitungkan soal risiko itu dan memilih tak menerapkan karantina wilayah.

"Bukan pilihan, karena kita sudah menghitung seperti itu. Makanya tidak ada opsi karantina wilayah," juru bicara pemerintah terkait penanganan wabah virus Corona, Achmad Yurianto kepada wartawan, Sabtu (11/4/2020).

"Salah satunya itu (risiko gelombang kedua)," tegas Yuri.

Yuri mengatakan karantina wilayah merupakan masalah yang pelik. Dia mencontohkan bila karantina wilayah dilakukan di Jakarta.

"Masalah karantina wilayah itu masalah yang sulit, bukan hanya itu. Kamu bisa enggak bayangi tutup Jakarta? Memang pintu masuk Jakarta cuma satu? Mungkin enggak itu dilakukan?" ujar Yuri.

Yuri menilai karantina wilayah bukan pilihan untuk menuntaskan penyebaran virus Corona. Justru sebaliknya.

"Bukan pilihan kemudian menyelesaikan masalah, malah bikin rumit semuanya itu nanti," imbuhnya.

Sebelumnya diberitakan, bila karantina wilayah diterapkan, angka kematian kasus positif COVID-19 diprediksi bakal rendah. Ternyata strategi untuk menanggulangi virus Corona ini punya risiko. Angka kematian memang bisa ditekan dengan karantina wilayah, tapi COVID-19 gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya bakal muncul lagi.

Penjelasan ini adalah salah satu bagian dari hasil pemodelan terkait wabah COVID-19 di Indonesia, yang dibuat oleh pakar dari berbagai universitas dan tim SimcovID. Ilmuwan yang terlibat mengerjakan penelitian ini berasal dari ITB, Unpad, UGM, Essex and Khalifa University, University of Southern Denmark, Oxford University, ITS, Universitas Brawijaya, dan Universitas Nusa Cendana.

Peneliti membagi prediksi berdasarkan tiga jenis skenario intervensi sebagai berikut:
1. Tanpa intervensi: Penyebaran virus dibiarkan tanpa penanganan.
2. Mitigasi (mulai 15 Maret 2020): Memperlambat penyebaran. 50% Populasi diam di dalam tempatnya, 50% populasi bisa bepergian.
3. Supresi (jika mulai 12 April 2020): Menekan laju penyebaran. Karantina wilayah. Hanya mengizinkan 10% populasi yang bisa bepergian.

Dalam skenario supresi, karantina wilayah diterapkan. Sebanyak 90% populasi benar-benar tidak diizinkan bepergian. Cara ini diprediksi ampuh menekan korban jiwa akibat COVID-18. Diprediksi ada 120 ribu orang meninggal dunia akibat COVID-19 bila karantina wilayah diterapkan, lebih rendah jumlahnya ketimbang korban jiwa dari skenario mitigasi (1,2 juta jiwa) dan skenario tanpa intervensi (2,6 juta jiwa).

Durasi epidemi COVID-19 bakal lebih panjang bila karantina wilayah diterapkan, yakni memakan waktu 6-7 bulan. Puncaknya, yakni pada akhir April-awal Mei 2020, akan ada 1,6 juta orang terjangkit COVID-19. Butuh 180 ribu ICU untuk merawat orang-orang. Meski jumlah korban jiwa dan jumlah orang yang terjangkit lebih sedikit, karantina wilayah diprediksi tak mampu menghindari wabah COVID-19 susulan.

"Ada kemungkinan terjadi gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya," tulis peneliti. (*)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama