Presiden Jokowi Diprotes Tidak Adil

Ilustrasi Ojek Online

mjnews.id - Kebijakan pemerintah yang memberikan bantuan kepada driver ojek online (ojol) mendapat protes keras dari serikat buruh. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak adil membuat kebijakan dan dianggap ada unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

“Aneh-aneh nih pembuat kebijakan ekonomi pemerintah dalam membantu pelaku usaha kecil yang terkena dampak Covid-19. Kok malah yang dibantu tranportasi ojol saja sih,” kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono dalam keterangannya seperti ditulis detikcom, Kamis (16/4/2020).

Pria yang biasa disapa Poyu ini menilai pemerintah terlalu ‘manjakan’ ojol karena pendiri ojol duduk sebagai menteri dan salah satu komisarisnya adalah kakak dari Menteri BUMN. Ia berharap pemerintah bisa adil sehingga semua sektor mendapat perhatian.

Seperti diketahui, pemerintah lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru saja mengeluarkan kebijakan bahwa ojol satu-satunya transportasi yang mendapatkan promo cashback sebesar 50% untuk pembelian BBM non-subsidi di SPBU Pertamina dengan menggunakan aplikasi MyPertamina.

“Ini merupakan kebijakan yang sangat tidak adil dan terlihat pengambil kebijakan tidak tahu benar mana saja yang mestinya diberikan subsidi BBM untuk menjalankan usahanya di saat pandemi Covid-19. Kok cuma untuk ojol saja ya?,” herannya.

Menurutnya, masih banyak sektor lain yang juga kewalahan menghadapi Corona ini, seperti UKM dan moda transportasi lainnya yang masih membutuhkan subsidi BBM bagi kelangsungan usahanya selama pandemi.

Selain itu, nelayan yang dianggap sulit mendapat BBM murah untuk mencari ikan, hingga buruh yang sudah banyak dipotong gajinya juga tidak mendapat bantuan tersebut. Kebijakan Pertamina yang memberikan bantuan hanya kepada driver ojol dinilai salah sasaran.

“Lalu UKM makanan minuman yang menggunakan gas Elpiji dan BBM tidak mendapatkan cashback, kemudian angkot dan taksi kok nggak dikasih cashback? Jangan-jangan provider startup unicorn ojol sudah punya keluarga menteri yang punya hubungan sama pemerintah. Ayo adil dong jangan aji mumpung,” tegasnya.

Gaji Dipotong

Virus Corona tidak hanya memberi dampak pada masyarakat lapis bawah yang mulai kehilangan pendapatan hingga pekerjaannya. Perlahan tapi pasti, dampak Corona menjalar pada masyarakat lapis menengah.

Ratih, bukan nama sebenarnya, bekerja di salah satu perusahaan ritel ternama di Jakarta. Ia adalah salah satu orang yang merasakan pedihnya dampak Corona.

Ia bercerita, perusahaan secara bertahap melakukan penyesuaian atas berkembangnya virus ini. Awalnya, pada Maret jumlah hari kerjanya dipotong sehari dengan konsekuensi pengurangan gaji.

“Kami dikasih peraturan satu hari tiap minggu tidak masuk kerja, dengan dipotong gaji,” jelasnya, Kamis (16/4/2020).

Kebijakan pengurangan hari kerja pun terus bertambah. Hingga puncaknya saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Dengan PSBB, mulai pekan depan jumlah hari kerjanya dipangkas hingga separuhnya. Lagi-lagi, gajinya pun ikut terpengaruh yang mana gaji juga dipangkas sampai separuh alias 50 persen.

“Tiga hari dalam seminggu diliburkan dan dipotong gaji,” keluhnya.

Tunjangan hari raya (THR) pun entah bagaimana nasibnya. Ia tak tahu apakah akan diberikan untuk tahun ini atau tidak.

Namun, ada yang lebih miris. Pengurangan jam kerja itu tidak disampaikan melalui surat resmi, hanya sebatas broadcast via WhatsApp.

Protes pun sangat susah dilakukan oleh Ratih. Dia bahkan mendapat informasi, karyawan yang protes malah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Protes pun susah karena memang ada beberapa juga yang di-PHK karena protes itu,” ungkapnya.

Saat seperti ini, ia pun mengharap uluran tangan dari pemerintah. Sayangnya, dia melihat kebijakan pemerintah justru berat sebelah hanya melihat masyarakat lapisan bawah termasuk pengemudi ojek online (ojol).

Padahal, masyarakat seperti Ratih juga perlu mendapat bantuan sehingga tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Ia pun berharap agar pemerintah memberikan perhatian juga pada masyarakat lapisan menengah seperti dirinya.

“Mungkin sebulan, dua bulan bisa bertahan dengan tabungan tapi kalau tiga bulan ke belakang nggak ngerti juga kan,” ujar Ratih. (*/dtc)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama