Mahfud MD: Korupsi Era Reformasi Lebih Meluas Dibanding Orba


Mahfud MD

JAKARTA
-Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, korupsi pada era reformasi lebih meluas dibanding dengan era orde baru. 

Menurutnya, kini atas nama demokrasi yang diselewengkan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif, tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif, dan secara vertikal dari pusat sampai ke daerah.

"Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal," kata Mahfud, Rabu (26/5/2021).

Mahfud menjelaskan, perihal korupsi yang lebih meluas pada era reformasi sudah pihaknya katakan pada 2017. Dia menuturkan, ketika Orde Baru memang terjadi tindakan korupsi besar-besaran, tapi itu terkonsentasi dan diatur melalui jaringan korporatisme oleh pemerintahan Presiden Soeharto.

"Korupsinya dulu dimonopoli di pucuk eksekutif dan dilakukan setelah APBN ditetapkan. Ini tak bisa dibantah, buktinya Orde Baru direformasi dan pemerintahan Soeharto secara resmi disebut pemerintahan KKN," ujar Mahfud yang dikutip republika.co.id.

Namun, kata dia, ketika era reformasi harus diakui tindakan korupsi semakin meluas. Dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah. Kini, sebelum APBN dan APBD ditetapkan, negosiasi-negosiasi proyek untuk APBN dan APBD itu sudah ada.

"Kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah, sekarang ini sebelum APBN dan APBD, jadi sudah ada nego-nego proyek untuk APBN dan APBD," ungkap Mahfud.

Menurut Menteri Pertahanan era Gus Dur itu, banyak koruptor yang masuk penjara karena jual beli APBN dan peraturan daerah (perda). "Saya bisa menunjuk bukti dari koruptor yang dipenjara saja," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu menjelaskan.

Menurut Mahfud, itu semua dilakukan atas nama demokrasi. Karena hal tersebut, pemerintah tidak mudah untuk menindaknya. Sebab, di dalam demokrasi pemerintah tidak bisa lagi mengonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar wewenangnya. Melihat itu, Mahfud mengaku paham dengan istilah “demokrasi kriminal” yang pernah dilontarkan oleh Rizal Ramli.

"Situasi ini perlu kesadaran moral secara kolektif. Sebab, tak satu institusi pun yang bisa menembus barikade demokrasi yang wewenangnya sudah dijatah oleh konstitusi," kata Mahfud menjelaskan.

Kunci penyelesaian tindakan korupsi menurutnya tak cukup hanya dengan aturan-aturan atau jabatan. Sebab, aturan dan jabatan dibuat melalui apa yang diasumsikan sebagai keharusan demokrasi.

"Jika para aktor demokrasinya bermoral bobrok maka produk hukum dan pelaksanaannya pun akan bobrok. Hukum itu kan sangat ditentukan oleh moral para aktornya. Itulah tugas kita ke depan," ucapnya.

Jadi, kata dia, demokrasi tetap yang terbaik. Hanya saja perlu ditata ulang dengan keluhuran moral para aktornya agar yang tumbuh adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi kriminal.

"Ada dalil yang menyatakan bahwa dalam arti tertentu hukum adalah produk politik, jika moralitas politik bagus maka hukum dan penegakannya akan bagus. Tapi jika moralitas politik jelek maka hukum dan penegakannya juga akan jelek," ujar Mahfud. (*)


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama