Pancasila sebagai Bintang Pemandu

Oleh : Zennis Helen
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ekasakti dan Advokat di Rumah Bantuan Hukum Padang

MJ News - PANCASILA, sebuah pilar bangsa saat ini sudah luntur. Banyak warga negara yang tidak semangat lagi membicarakan Pancasila. Bahkan, seolah-olah ‘tabu’ membicarakan Pancasila.

Sebagai dasar negara, tak seharusnya demikian. Boleh dikatakan, nilai-nilai yang tertuang dalam lima sila Pancasila hanya sebagai hiasan dinding konstitusi. Belum mengejewantah dalam sikap, pandangan dan orientasi masyarakat, bangsa dan negara. Ia tidak lagi menjadi pedoman dan rujukan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Perilaku dan sikap hidup masyarakat dan pejabat negara telah kering dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal itu tampak dalam berbagai dan aspek kehidupan baik di bidang hukum, ekonomi, budaya, maupun sosial kita sudah jauh melenceng dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Padahal, Pancasila harus dijadikan kaidah penuntun dan bintang pemandu dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan tersebut.

Ekonomi misalnya, tidak lagi menganut ekonomi kerakyatan sebagaimana yang diamanahkan Pasal 33 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi ‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, Ayat(2) Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup banyak dikuasai oleh negara dan ayat (3).

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat’. Namun buktinya, kekayaan alam yang digali dari perut bumi ibu pertiwi ini hanya menguntungkan bagi sekelompok orang yang berafiliasi dengan kepentingan asing.

Ekonomi kita sekarang ini banyak orang menyebut beraliran kapitalis liberal berorientasi pasar dan jauh dari filosofi keadilan dan kemakmuran rakyat. Ketimpangan kesejahteraan sangat terasa dan tajam. Kelompok yang mempunyai akses pada kekuasaan dan materi dapat hidup dan berkembang dengan baik dan aman, sementara orang yang tidak mampu akan sulit untuk bangkit karena sangat individual dan tidak lagi mengutamakan asas kebersamaan dan kekeluargaan.

Intervensi pemerintah sangat tipis, individu yang lemah dibiarkan dengan yang kuat. Padahal, tidak akan menang dan semestinya harus ada advokasi dan perlindungan negara.

Walaupun capaian pertumbuhan ekonomi nasional mengalami peningkatan namun hasilnya hanya dinikmati kalangan atas, sedangkan kalangan ekonomi menengah ke bawah tidak merasakan dampaknya. Mereka tetap hidup susah, tinggal di kolong-kolong jembatan, sulit mendapatkan akses kesehatan, pendidikan dan akses ekonomi. Kesulitan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan rasa aman masih dirasakan sebagian besar masyarakat.

Akibat beban hidup yang kian berat mereka tak segan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Angka bunuh diri sangat tinggi di Indonesia akhir-akhir ini. Penyebabnya mayoritas karena tekanan ekonomi yang sangat berat, sementara perhatian pemerintah masih kurang.

Tidak hanya itu, jumlah penduduk Indonesia yang mengalami stress dan gila semakin banyak juga namun pemerintah belum ada tindakan dan perhatian untuk menangani orang-orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut. Keberadaan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa sering menganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat sekitarnya.

Lebih ironis lagi, pemerintah memang berhasil menaikkan angka harapan hidup orang Indonesia yang terus tinggi setiap tahunnya namun setelah mereka berumur panjang kemudian para lanjut usia tersebut tidak diperhatikan kehidupannya dan dibiarkan hidup sendirian. Padahal, tenaga mereka tidak kuat lagi. Mereka pada akhirnya menjadi beban orang-orang muda yang produktif. Jika orang-orang yang berada disekelilingnya tidak lagi sanggup menopang kehidupannya maka jadilah mereka sebagai pengemis di jalanan.

Pemandangan seperti ini sering kita temukan di kota-kota besar. Menurut Penulis, pemerintah dalam hal ini tidak bertanggung jawab, sudah angka harapan hidup dinaikkan namun tidak diikuti dengan program berikutnya yang akan menjamin keberlangsungan kehidupan para lansia tersebut. Jadi dimana letak keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila ke-5 Pancasila.

Lagi-lagi pemerintah dalam hal ini tidak lagi menjadikan pancasila sebagai pedoman dan rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dalam bidang hukum, Pancasila tidak lagi dijadikan pedoman dan rujukan dalam menegakkan hukum. Padahal, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Produk hukum yang dilahirkan oleh parlemen dan eksekutif baik Undang-Undang, maupun peraturan daerah ternyata sangat jauh dari filosofi dan nilai –nilai Pancasila.

Buktinya, ada undang-undang yang baru saja disyahkan maka langsung diuji ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini menandakan undang-undang tersebut dibuat tidak lagi memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara luas atau bukan kristalisasi dari kebutuhan dan kepentingan jangka panjang masyarakat tetapi yang dominan adalah kristalisasi berbagai kepentingan jangka pendek elit politik yang merumuskannya.

Padahal, jika Undang-Undang tersebut berpedoman kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maka undang-undang tersebut akan mampu memayungi segenap kepentingan masyarakat secara luas. Tetapi yang terjadi sekali lagi adalah Pancasila hanya dijadikan hiasan dinding dalam gedung parlemen dan nilai-nilai luhur yang ada padanya tidak pernah dijadikan landasan dalam setiap pengambilan kebijakan strategis di negara ini.

Maka sudah terjadi pengenyampingan nilai-nilai Pancasila dalam setiap keputusan strategis di negara ini makanya setiap produk hukum selalu tidak dipatuhi oleh masyarakat karena produk hukum tidak bersumber dari kuasa sosiologis masyarakat dan tidak mencerminkan asas keadilan, kesamaan dan kesempatan yang sama bagi semua masyarakat.

Padahal, tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai ketuhan Yang Maha Esa, tidak boleh ada ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan merusak integrasi bangsa. Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya berisi Pancasila harus dijadikan norma negara yang paling fundamental (staats fundamental norm).

Kemudian di tingkat peraturan daerah juga banyak peraturan daerah yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Misalnya, peraturan daerah yang berkaitan dengan urusan sumber daya alam.

Bupati/Walikota karena sudah ada desentralisasi kewenangan ke daerah melalui otonomi daerah maka merasa menjadi raja-raja kecil di daerah dan turunannya membuat peraturan daerah sesuka hati dan seenak perut serta tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan banyak peraturan daerah tersebut yang merugikan masyarakat di daerah. Lahan-lahan masyarakat banyak yang diambil secara paksa oleh pihak investor dengan iming-iming dan janji-janji manis namun pada akhirnya masyarakat yang dirugikan.

Investasi yang datang ke daerah hanya menguntungkan investor dan pemerintah daerah tetapi berakibat buruk bagi masyarakat sekitar. Lingkungan hidup menjadi rusak, nilai sosial kultural mereka menjadi hilang. Tanah bagi masyarakat bukan hanya sekedar simbol ekonomi tetapi juga simbol kultural yang harus dijaga dan dilestarikan. Orang Papua mengibaratkan tanah itu seperti ibu mereka yang harus dijaga dan dirawat sepanjang masa.

Namun kehadiran investor sering membawa malapetaka bagi masyarakat lokal. Jika tidak ada transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dari berbagai pihak di daerah maka konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan akan selalu terjadi. Korban akan tetap berjatuhan.

Maka dengan demikian Pancasila harus dijadikan sebagai landasan dalam segala sikap dan kebijakan negara ini dalam berbagai bidang kehidupan maka dengan itu Pancasila baru benar-benar dapat dikatakan sebagai membumi dalam jiwa dan hati warga bangsa. (*)
September 2016

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama