Menunggu Protokol Eliminasi Covid-19

Oleh: Taufik Effendi

Sejak meletus di Wuhan Tiongkok pada Desember 2019, nCov pun menjadi momok. Puncaknya, WHO melabeli peristiwa ini sebagai pandemi, wabah yang mendunia!

Maka, lumrah saja terjadi panic buying dan sifat serakah untuk menangguk untung di air keruh di tengah situasi geger novel Coronavirus (nCov) yang mewabah menjadi penyakit Covid-19.

Sebab, sepanjang sejarah manusia, situasi-situasi serupa ini selalu memakan korban, di luar substansi biang kerok. Tatkala sebuah peristiwa mengemuka, informasi pun berseliweran, persepsi berpulang pada personal-personal yang majemuk itu. Jika saat itu negara absen, maka yang berlaku adalah “selamatkan diri masing-masing”.

Ada negara yang siap menghadapi situasi kritis ini dengan sigap dan cerdas. Sejumlah regulasi pun diterbitkan. Mulai dari jaga jarak interaksi sosial (social distance) minimal semeter, hindari kerumunan, dan lockdown diberlakukan.

Tiongkok sendiri, dengan penanganan yang ekstra ketat, nCov bisa dieliminasi persebarannya. Insentif bagi warga yang bersedia melaporkan diri bilamana ada gejala-gejala dihinggapi nCov, cukup membantu untuk melokalisir dan selanjutnya mengeliminasi wabah ini.

Singapura, dengan pemberian sanksi denda bagi warga yang tidak segera melapor saat dihinggapi gejala-gejala Covid-19, juga sukses memperlambat merebaknya nCov.

Tetapi Italia, yang juga memberlakukan sejumlah kebijakan, harus bertekuk lutut oleh tindakan cuek para milenial yang mengabaikan imbauan, sehingga negara itu kini jadi episentrum nCov di Eropa.

Ada juga negara yang gagap menyikapi fenomena ini. Alih-alih menyiapkan protokol buat mengeliminasi wabah, yang terjadi malah respon parsial. Entah itu murni demi kemanusiaan, ataukah ada agenda politik yang sedang dimainkan, respon-respon parsial ini cukup membantu. Misalnya dengan gerakan penyemprotan disinfektan di ruang-ruang publik, atau vaksinasi massal buat para karyawan, cukup membantu mengeliminasi nCov, meskipun tidak mangkus dalam skala yang lebih luas.

Secara parsial pula, Gubernur Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan pembatasan jam operasional transportasi publik. Juga meliburkan sekolah selama dua pekan, seperti yang juga diterapkan Gubernur Kofifah di Jatim dan Walikota Solo. Serta banyak lagi.

Di Sumatera Barat, Gubernur Irwan Prayitno mengkoordinasikan para bupati dan walikota, dan sepakat untuk belum meliburkan sekolah, tetap membuka objek wisata, seraya menunjuk Kepala BPBD sebagai Ketua Gugus Tugas Penanganan nCov dan Covid-19. Bahkan, gubernur pun sudah menyurati Kemenkes RI untuk mendapatkan izin pemeriksaan dan diagnosa Covid-19 di Laboratorium Fakultas Kedokteran Unand.

Bupati dan walikota juga tak tinggal diam. Dalam berbagai kesempatan beliau mengajak warga untuk hidup bersih dan sehat, cuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer. Jika di kerumunan pakailah masker.

Ada pula yang ikut menyemprot disinfektan. Meskipun belum ada yang membagi-bagikan masker gratis yang mendadak hilang dari pasar! Sudahkah kita tahu, hand sanitizer pun raib dari apotik dan rumah obat?

Sebelumnya, Presiden Jokowi pun merespon dengan membentuk Gugus Tugas Nasional, diketuai oleh Kepala BNPB, dengan anggota para menteri terkait, dan melibatkan seluruh potensi nasional untuk bersama-sama memerangi nCov. Jokowi mengimbau supaya seluruh rakyat Indonesia tenang, tetap produktif agar penyebaran Covid-19 ini bisa dihambat. Kata Jokowi, seperti dilansir media, Minggu (15/3/2020), saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah.

Men PAN RB, Senin (16/3/2020), pun menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja PNS dalam Upaya Pencegahan Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah. Edaran ini mengatur para ASN boleh bekerja di rumah, dengan persyaratan-persyaratan yang detail dan jelas.

Alhamdulillah, respon pemerintah sangat terlihat. Keseriusan pemerintah tak diragukan lagi, serupa terlihat pada tweet Menteri Mahfud Md yang mengatakan bahwa sidang kabinet, Senin (16/3/2020), memutuskan alokasi keuangan negara sepenuhnya diarahkan buat memerangi nCov. Jika perlu, proyek-proyek pembangunan boleh ditunda pengerjaannya.

Pertanyaannya sekarang, dengan segenap respon parsial dan nasional, sudahkah kita punya Protokol Eliminasi Covid-19 secara komprehensif?

Di luar protokol penanganan kasus Covid-19 di Rumah Sakit (RS) serta penunjukan RS rujukan, bagaimana protokol eliminasi ini mampu membentengi, membatasi, atau mengisolasi nCov! Bagaimana pula protokol untuk memobilisasi segenap sumberdaya?
Menggerakkan pertahanan diri (self defense) tiap-tiap warga, mengatasi menghilangnya masker dan hand sanitizer serta ulah-ulah sejenis, mengedukasi masyarakat seraya meluruskan hoaks, serta protokol lintas wilayah, adalah sederet aspek yang perlu berkejelasan, siapa mengerjakan apa?

Ketika di media sosial (medsos) viral seorang warga Kerinci yang baru kembali dari Malaysia diisolasi dan dilarikan ke RSUP M. Djamil, saluran-saluran resmi pemerintah pun kelabakan menjelaskan; apakah dia terpapar nCov, atau hanya flu biasa, bagaimana kondisinya saat ini? Siapa yang kompeten menjelaskan?

Sepanjang Protokol Eliminasi Covid-19 itu tidak dibuat, kita pun kalangkabut. Serupa tak berurus saja jadinya!

Apalagi virus tak pernah mati. Ia hanya mengkristal manakala habitatnya tidak kondusif. Entah kapan nCov ini bisa dijinakkan, sementara vaksinnya masih dalam uji coba.

Jadi, kita tunggulah protokol itu! (*)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama