Harga Bitcoin Sempat Cetak Rekor

Ilustrasi


Liputankini.com- Pada awal Januari lalu, atau tepatnya 8 Januari 2021, harga bitcoin menembus rekor mencapai US$ 41.973 atau setara Rp 587 juta. Harga bitcoin selama tahun 2020 telah melonjak 400%, dan dalam beberapa hari di awal 2021 melonjak 30% menurut data CNBC.

Meski kini sudah berangsur turun, yakni di level US$ 37.465 atau setara Rp 524 juta per 29 Januari pukul 20:31 WIB menurut data Coindesk, namun angka tersebut masih sangatlah tinggi.


Menurut Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo penyebab pertama dari melonjaknya harga bitcoin atau yang biasa disingkat dengan BTC; adalah halving day yang jatuh pada 11 Mei 2020.



"Kenapa tahun kemarin naiknya tinggi sekali, ratusan persen? Itu disebabkan pertama oleh halving day, itu semacam sistem di cryptocurrency itu mereka setiap 4 tahun sekali, koin yang beredar semakin sedikit. Karena BTC diciptakan hanya ada 21 juta koin di dunia. Nah sekarang koin yang beredar sudah 18,6 juta koin. Jadi ke depannya koin yang keluar akan semakin sedikit, dan otomatis itu memicu harganya naik," ungkap Sutopo, Kamis (28/1/2021).


Dihubungi secara terpisah, Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, penyebab lainnya harga BTC melonjak drastis ialah kekhawatiran investor atas instrumen atau aset lain yang bisa terseret kondisi perekonomian dunia akibat pandemi virus Corona (COVID-19). Oleh sebab itu, banyak orang yang melarikan uangnya untuk dibelikan BTC.


"Dia adalah pelarian kapital. Jadi itu memang mengasumsikan adanya kecemasan. Jadi capital flight itu mengindikasikan kecemasan pasti atas uang sendiri," jelas Wahyu.


Ia berpendapat, orang-orang yang berlari ke BTC itu dikarenakan cemas akan aset valuta asing (valas) atau instrumen investasi lainnya yang nasibnya tak menentu selama pandemi. Pasalnya, sejumlah negara terutama Amerika Serikat (AS) mengandalkan pencetakan uang untuk menangani pandemi, yang pada akhirnya mempengaruhi stabilitas sistem keuangan.


"Dalam hitungan 1 tahun bisa mengguyur uang selama beberapa dekade. Misalnya dalam beberapa dekade triliunan dolar AS. Itu buat The Fed dalam 3 bulan di 2020 kemarin dia sudah bisa mengeluarkan uang sebanyak itu, termasuk pemerintahnya sendiri, dan memang ini dicicil-cicil. Kemudian Biden menang, menjanjikan US$ 1,9 triliun. Nah inilah yang membuat mata uang, ya terburuknya bisa jadi dolar Zimbabwe," ujarnya yang dilansir detikcom.


Akan tetapi, setelah mencetak rekor, hingga saat ini memang BTC terus terkoreksi. Kembali ke Sutopo, menurutnya hal itu disebabkan aksi para investor atau trader yang menjual asetnya atau taking profit saat harga BTC cetak rekor kemarin.


"BTC setelah naik tinggi, selain taking profit kan sempat naik Rp 500-an juta, kemudian sekarang harganya anjlok. Nah itu disebabkan taking profit para investor yang sudah profit banyak," imbuhnya.


Tak lupa juga dengan pernyataan petinggi Eropa yang meminta agar perdagangan BTC bisa dikendalikan. " Kedua karena 1-2 minggu lalu itu ada komentar dari Presiden Bank Sentral Eropa yang mengatakan BTC perlu diatur pada tingkat global. Karena mata uang BTC ini aset yang sangat spekulatif, sehingga perlu diatur supaya tidak terjadi seperti money laundry, atau banyak bisnis scam yang memakai BTC sebagai alat deposit, dan sebagainya. Itu juga yang menyebabkan harga BTC dua minggu ini jatuh," imbuh Sutopo.


Meski pada awal diluncurkan BTC ini dikatakan tak akan terpengaruh geopolitik dan kondisi perekonomian dunia, namun kini malah terjadi.


"Padahal dulu awalnya BTC diciptakan untuk tidak terpengaruh oleh geopolitik, ekonomi, maupun politik di negara-negara lain. Tapi semakin hari semakin ke sini, BTC semakin mirip dengan emas digital. Jadi pengaruh fundamental dunia, ekonomi, politik, itu ikut mempengaruhi pergerakan BTC," pungkasnya.

(*)


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama