Roda Nasib Petani di Kincir Air


Warga melihat kincir air di Kabupaten Solok. Foto diambil beberapa tahun silam. (edwardi)



Liputankini.com- Gemerisik air terdengar dari Batang Lembang. Tiga kincir berdiri dengan kokoh di dasar sungai itu. Detik demi detik kincir berputar digerakkan air. Kincir berputar mengalirkan air ke persawahan. Roda kincir menjadi tali gantungan kehidupan petani.

Selagi roda kincir masih berputar, selalu ada harapan bagi kalangan petani untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Perputaran roda kincir menjadi bagian roda hidup petani di Jorong Sumagek, Nagari Sumani. Petani di Jorong Sumagek, Nagari Sumani, Kecamatan X Koto Singkarak, selama ini lelah dengan masalah kekeringan. Tiap musim kemarau, petani di sana hanya bisa memandangi hamparan sawah yang mengering. Sawah hanya bisa ditanam kalau musim hujan datang.

Bertani menjadi tumpuan banyak orang di sana. Urusan makan dan kebutuhan harian tak mengenal istilah musim. Kemarau atau musim hujan, kebutuhan ekonomi tak bisa ditawar. Hidup butuh makan, biaya sekolah anak dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Tak terbilang berapa haktare persawahan penduduk yang airnya berasal dari Batang Lembang. Sungai itu dengan angkuhnya  meliuk-liuk membelah Kabupaten dan Kota Solok. Batang Lembang juga sungai yang merana. Sungai airnya tercemar akibat ulah manusia yang serampangan membuang sampah dan kotoran. Bila di bagian hulu airnya jernih, menjelang ke muara di Danau Singkarak, air kian keruh. Apapun kondisi Batang Lembang, bagi petani di X Koto Singkarak, air yang mengalir di sungai itu adalah sumber kehidupan. 

Dulu, bila musim kemarau tiba, petani di Jorong Sumagek terpaksa harus menggunakan pompa untuk menaikkan air ke saluran irigasi. "Kami angkat tangan dengan pompa. Petani tak sanggup menanggung biaya bahan bakar minyak," kata Rizaldi, petani dan Ketua Persatuan Petani Pemakai Air di Jorong Sumagek.

Dia mengemukakan, kalau menggunakan pompa, satu musim tanam paling tidak diperlukan biaya Rp500 ribu untuk tiap hektare sawah. Bahkan, ketika harga BBM sedang mahal, biaya bisa mencapai Rp2 juta. Untuk satu hektare sawah, paling tidak mesin harus hidup selama 10 jam perhari.

Sawah tadah hujan lebih banyak memerlukan air bila dibandingkan dengan sawah yang irigasinya bagus. Tingginya biaya operasional itu belum tentu seimbang dengan produksi padi. Lebih celaka lagi kalau musim panen tiba-tiba harga gabah anjlok. Guna membeli BBM itu, terpaksa petani beriuran. Kalau petani sedang sulit ekonominya, maka sawah dibiarkan saja mengering dan tidak diolah sama sekali.

Menurut Rizaldi, pompa yang dipergunakan petani berasal dari bantuan Pemerintah Republik Indonesia dan Negara Swis. "Sekarang pompa kami istirahatkan dulu," katanya, seraya menyebutkan, dipergunakannya kincir untuk pengairan berawal dari rasa frustrasi petani yang tiap tahun selalu berhadapan dengan kesulitan air.

Rizaldi menambahkan, petani sepakat beralih ke kincir, berawal dari berita media massa yang menyebutkan, petani di Kabupaten Limapuluh Kota dan Sijunjung berhasil melawan kekeringan dengan memanfaatkan tenaga kincir. Lalu, sejumlah petani di Jorong Sumagek melakukan studi banding ke kedua daerah tersebut. Setelah diamati, penggunaan kincir juga memungkinkan karena air di Batang Lembang terus mengalir.

Petani di Jorong Sumagek membangun kincir untuk irigasi 2008 silam, dengan memanfaatkan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan swadaya masyarakat.  Rizaldi mengemukakan, pembangunan tiga kincir itu, selain memanfaatkan dana pemerintah juga ditunjang oleh swadaya masyarakat. "Kami sadar, kalau ingin merubah nasib kami sendiri yang harus berusaha dan bekerjasama," katanya.

Pembangunan kincir air itu pun melibatkan tenaga teknis dari Universitas Bung Hatta. Nazwar Jali dari Bung Hatta menyebutkan, panitia dan tenaga teknis pembangunan tak berpikir keuntungan dari tiga kincir air itu. Kalau hanya memanfaatkan dana yang tersedia, paling hanya bisa membangun dua kincir. "Nyatanya berhasil dibangun tiga unit," katanya.

Tiga kincir memang telah dibangun dan beroperasi.Peresmian tiga kincir air itu dilakukan oleh Wakil Bupati Solok, Desra Ediwan, Kamis (26/2). Wakil bupati berharap, masyarakat menjaga dan memelihara pembangunan yang telah dilakukan dengan susah payah masyarakat. Pembangunan dengan pola pemberdayaan merupakan pembangunan yang dirancang, dilaksanakan dan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. "Mudah-mudahan petani bisa mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dari pengairan yang juga sudah jauh lebih baik dari masa sebelumnya," kata Desra.

Lalu, selesaikan persoalan yang dihadapi petani dengan beroperasinya tiga kincir itu? Rizaldi mengemukakan, dari tiga kincir itu, setidaknya baru mampu mengaliri 12 hektare sawah. Sementara sawah yang memerlukan pengairan berjumlah 25 hektare. Ada 13 hektare lagi sawah yang butuh kincir.

H. Masri Bakar, Ketua Badan Musyawarah Nagari (BMN Sumani menyebutkan, paling tidak dibutuhkan tiga unit kincir lagi agar persoalan kekeringan tuntas di Nagari Sumani. Sebab, dalam nagari tersebut terdapat 12 jorong, yang sebagian besar areal persawahan tergantung pada musim hujan. 

Dia mengemukakan, kincir diperlukan di jorong-jorong lain yang berdekatan dengan sungai. Belajar dari tiga kincir yang telah beroperasi, banyak keuntungan yang dipetik petani. Bila sebelumnya petani harus beriuran untuk membeli BBM, sekarang pengairan bisa didapatkan dengan gratis. "Biaya sekarang sudah nol," kata Masri.

Dia berharap masyarakat menjaga tiga kincir yang sudah dibangun. Kincir itu telah membebaskan masyarakat dari belenggu kekeringan yang selama ini menghantui bila kemarau datang.

Desra Ediwan menyebutkan, dengan kondisi pengairan yang lebih baik seperti sekarang, diharapkan hasil produksi gabah di Kabupaten Solok bisa lebih meningkat di masa mendatang. (Edwardi/tulisan ini terbit beberapa tahun lalu di sebuah harian terbitan Padang)



Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama